Sabtu, 03 Agustus 2013
Senin, 10 Juni 2013
FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Saham dan Forex
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no:
28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
MENIMBANG :
1. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
2. Bahwa dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
3. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman
1. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
2. Bahwa dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
3. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman
MENGINGAT :
• “Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
• “Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri : Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)’ (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
• “Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum , sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
• “Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: “(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”
• “Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
• “Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin A rqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
• “Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf : Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
• “Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
• “Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri : Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)’ (HR. al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
• “Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum , sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
• “Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: “(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”
• “Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
• “Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin A rqam : Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
• “Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf : Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
MEMPERHATIKAN :
1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
FATWA MUI TENTANG TRADING FORE
FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang
(Al-Sharf)
Menimbang :
a. Bahwa
dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali
diperlukan
transaksi
jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata
uang berlainan jenis.
b. Bahwa
dalam 'urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal
beberapa
bentuk
transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu
bentuk dengan bentuk lain.
c. Bahwa
agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1.
"Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: "...Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..."
2.
"Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa'id
al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh
dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)' (HR. albaihaqi dan
Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
3.
"Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Majah,
dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda:
"(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah
sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.".
4.
"Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: "(Jual-beli) emas
dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."
5.
"Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda:
Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah
menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan
perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian
yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai
dengan yang tunai.
6.
"Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara' bin 'Azib dan Zaid bin Arqam :
Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).
7.
"Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: "Perjanjian dapat
dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram."
8.
"Ijma. Ulama sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat
tertentu
Memperhatikan :
1. Surat
dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2.
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal
14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
MEMUTUSKAN :
Dewan
Syari'ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG
(AL-SHARF).
Pertama : Ketentuan Umum
Transaksi
jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak
untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3.
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama
dan secara tunai (at-taqabudh).
4.
Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
1.
Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat
dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai,
sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa
dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2.
Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang,
antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga
yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya
dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah)
3.
Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga
spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama
dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir
(spekulasi).
4.
Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau
hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing
pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena
mengandung unsur maisir (spekulasi).
Ketiga :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :
14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
Fatwa ulama seputar onani atau masturbasi
Kebiasaan buruk masturbasi/onani
Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan
Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Tanya :
“Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang
dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk
kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk
kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh
negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian
telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum
mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng
baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan
menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak
mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan
bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk
menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram
hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur
ulama.
Wajib bagi anda untuk
bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali
perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat
mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton
televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib
bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang
menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk
sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya
(selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu
kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda,
hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan
drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang
membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya
kepada anda.
Adapun tentang mengulangi
shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda
lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda
mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda
melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena
melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya.
Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai
syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita
berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka
tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap
berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan IV 273-274]
Onani, kebiasaan yang
tersembunyi
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab : “Melakukan kebiasaan
tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya
hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang
benar.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
(yang artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
(yang artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Siapa saja mengikuti dorongan
syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di
balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Pada hadits ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar
berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya,
padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan
onani itu tidak boleh.
Penelitian yang benar pun
telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu,
sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali
kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada
sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang
telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh
jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah ajaba
‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi
Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]
Kebiasan jelek
beronani/masturbasi
Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab :
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya.
(yang artinya) : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [7] Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [QS Al Mu'minuun: 5 - 7]
Al-‘Adiy artinya orang yang
zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah
memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan
melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa
onani itu melanggar batasan Allah.
Maka dari itu, para ulama
mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu
haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan
di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena
mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.
Bahkan ada sebagian ulama
yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya
kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya
dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang
sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang
dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi
hamba-hambaNya.
Maka ia wajib segera
meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya
terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang
tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa,
sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (artinya) : “Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan
hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih
menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa,
karena puasa itu dapat membentenginya” [Muttafaq ‘Alaih]
Didalam hadits ini beliau
tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau
hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan
barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat
membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama.
Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Pertama.
Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Maka hendaklah anda, wahai
pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya
memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan
berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk
melunasinya.
Menikah itu merupakan amal
shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana
Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya. (yang artinya) : “Ada tiga orang yang
pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak
yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki
yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid
(pejuang) di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah]
(Dikutip dari terjemah Fatawa
Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130, disalin
dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama
Al-Balad Al-Haram)
Jendela Hikmah: Hukum agih daging korban kepada bukan Muslim
Oleh Alias Othman
wanitajim@yahoo.com
ISU yang sering ditimbulkan dalam ibadat korban ialah amalan korban dalam masyarakat berbilang atau silang agama. Dalam konteks masyarakat silang agama, yang penting ialah usaha meletakkan Islam di tempat dapat dilihat oleh semua pihak sebagai satu sistem yang mampu memesrakan hubungan dalam kehidupan seharian.
Melihat amalan ibadat korban di Malaysia, pendapat yang menjadi pegangan majoriti umat Islam di negara ini ialah daging korban tidak boleh diberi makan kepada orang bukan Islam. Pada peringkat sebelum berlaku interaksi sangat rapat antara orang Islam dan bukan Islam di Malaysia, pegangan seperti itu memang tidak menimbulkan apa-apa isu.
Namun, sejak akhir-akhir ini, selepas hubungan silang agama semakin rapat dan akrab, ziarah menziarahi kerap berlaku, saling menjemput ke majlis jamuan dan kenduri kendara sudah menjadi kebiasaan.
Malah, seorang Islam atau bukan Islam mungkin berasa janggal jika tidak menjemput rakan bukan Islam ke majlis yang diadakan, terutama jiran satu taman dan rakan setempat kerja. Budaya dan interaksi seperti ini mungkin menimbulkan isu.
Keadaan lebih ketara pada ibadat aqiqah yang pada kebiasaannya dilakukan di rumah. Majoriti orang Islam di Malaysia berpendapat daging aqiqah haram diberi makan kepada orang bukan Islam. Seorang Muslim akan berasa serba salah, jika tidak menjemput jiran bukn Islam sebelah rumah.
Dianggap kurang manis jika tidak memberikan daging korban kepada jiran. Sebaliknya, berasa bersalah kerana sudah melanggar hukum syarak yang mengharamkan daging aqiqah dan korban diberi makan kepada bukan Islam.
Jiran bukan Islam juga akan tidak selesa berada di rumah dalam keadaan dia tidak dijemput. Biasanya mereka akan sengaja membuat helah untuk tidak berada di rumah pada masa majlis diadakan.
Keadaan seperti ini sebenarnya menimbulkan satu tanggapan bahawa Islam tidak mesra jiran. Apakah tidak ada cara bagi umat Islam mengatasi masalah ini. Apakah tidak ada pendapat lain, selain pendapat yang mengatakan daging korban dan aqiqah haram diberi makan kepada bukan Islam?
Pendapat umum dan amalan orang Islam di Malaysia mengatakan daging korban tidak boleh diberi makan kepada bukan Islam. Namun, kita boleh merujuk kepada pendapat dikemukakan ulama mazhab lain dalam isu ini. Kita dapat mengesan pelbagai pendapat dengan hujah masing-masing. Melalui pendapat itu umat Islam mungkin dapat menemui jalan keluar daripada isu ini.
Penulis Kitab Kasyf al-Qina menyatakan mazhab Maliki berpendapat makruh memberi makan daging korban kepada orang Yahudi dan Nasara. Mazhab Hambali pula mengharuskan memberi hadiah daging korban sunat kepada bukan Islam, tidak harus menghadiahkan daging korban wajib kepada mereka.
Dalam al-Bajrimi dinyatakan tidak harus memberi makan daging korban kepada bukan Islam. Dinyatakan juga dalam Kitab al-Majmu` disebutkan harus memberi makan daging korban sunat kepada fakir miskin ahli zimmah, tidak harus memberi mereka makan daging korban wajib.
Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, disebutkan bahawa Ibn al-Munzir menyatakan ulama sepakat daging korban boleh diberi makan kepada fakir miskin Islam, namun mereka khilaf mengenai memberi makan daging korban kepada fakir miskin kafir ahli zimmah.
Imam Hasan al-Basri memberi keringanan mereka memakannya. Abu Thur juga berpendapat demikian. Disebutkan juga Imam Malik lebih suka ia diberi makan kepada selain fakir miskin bukan Islam. Al-Lith menganggapnya makruh, namun berpendapat jika dimasak harus diberi makan kepada mereka berserta fakir miskin Islam.
Ibnai Qudamah dalam al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir dan al-Syarbini dalam al-Iqna' menyebutkan mazhab Maliki berpendapat makruh menghadiahkan dan memberi makan daging korban kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Mazhab Hambali, al-Hasan, Abu Thur, berpendapat harus memberi hadiah dan memberi makan orang bukan Islam, kafir zimmi daging korban sunat, tetapi daging korban wajib, seperti korban nazar tidak harus.
Hukumnya sama dengan hukum zakat dan kifarat sumpah. Mazhab Syafie pula berpendapat tidak boleh memberi hadiah dan memberi makan orang bukan Islam daging korban sunat atau wajib.
Ibh Hazmin dari Mazhab Zahiriyah dalam kitabnya al-Muhalla menyatakan tuan punya korban boleh memberi makan kepada orang kaya dan orang bukan Islam atau dia menghadiahkan sedikit daripadanya.
Berdasarkan pendapat itu, kesimpulan yang boleh dibuat:
l Mazhab Syafie berpendapat haram memberi makan daging korban sunat atau wajib kepada bukan Islam.
l Mazhab Maliki berpendapat makruh memberi makan daging korban sunat kepada bukan Islam dan tidak harus (haram) memberi mereka makan daging korban wajib, seperti korban yang dinazarkan, sama seperti hukum zakat.
l Mazhab Hambali berpendapat harus menghadiahkan daging korban sunat kepada orang bukan Islam dan haram menghadiahkan kepada mereka daging korban wajib.
l Semua ulama mazhab sepakat (ijma') memberi atau memberi makan daging korban atau aqiqah wajib kepada bukan Islam adalah haram.
Ini bererti hanya ulama Mazhab Syafi`ie saja yang berpendapat daging korban sunat atau wajib tidak boleh (haram) diberi atau diberi makan kepada bukan Islam. Majoriti ulama lainnya berpendapat harus memberi mereka makan daging korban sunat, tidak harus jika korban wajib.
Dalam konteks Malaysia yang rakyatnya terdiri daripada penganut pelbagai agama, pendapat majoriti ulama yang mengharuskan orang bukan Islam diberi atau diberi makan daging korban sunat lebih baik diterima pakai.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat bukan Islam bahawa Islam memang ada sistem yang mesra bukan Islam dan dapat memelihara perhubungan silang agama.
Di samping itu, menerima pakai pendapat majoriti dapat memberi ketenangan kepada orang Islam sendiri, kerana mereka tidak berasa bersalah untuk menjemput jiran kalangan bukan Islam menghadiri majlis kenduri mereka.
Prof Madya Alias Othman adalah Penasihat Syariah JIM yang boleh dihubungi di e-mel wanitajim@yahoo.com
wanitajim@yahoo.com
ISU yang sering ditimbulkan dalam ibadat korban ialah amalan korban dalam masyarakat berbilang atau silang agama. Dalam konteks masyarakat silang agama, yang penting ialah usaha meletakkan Islam di tempat dapat dilihat oleh semua pihak sebagai satu sistem yang mampu memesrakan hubungan dalam kehidupan seharian.
Melihat amalan ibadat korban di Malaysia, pendapat yang menjadi pegangan majoriti umat Islam di negara ini ialah daging korban tidak boleh diberi makan kepada orang bukan Islam. Pada peringkat sebelum berlaku interaksi sangat rapat antara orang Islam dan bukan Islam di Malaysia, pegangan seperti itu memang tidak menimbulkan apa-apa isu.
Namun, sejak akhir-akhir ini, selepas hubungan silang agama semakin rapat dan akrab, ziarah menziarahi kerap berlaku, saling menjemput ke majlis jamuan dan kenduri kendara sudah menjadi kebiasaan.
Malah, seorang Islam atau bukan Islam mungkin berasa janggal jika tidak menjemput rakan bukan Islam ke majlis yang diadakan, terutama jiran satu taman dan rakan setempat kerja. Budaya dan interaksi seperti ini mungkin menimbulkan isu.
Keadaan lebih ketara pada ibadat aqiqah yang pada kebiasaannya dilakukan di rumah. Majoriti orang Islam di Malaysia berpendapat daging aqiqah haram diberi makan kepada orang bukan Islam. Seorang Muslim akan berasa serba salah, jika tidak menjemput jiran bukn Islam sebelah rumah.
Dianggap kurang manis jika tidak memberikan daging korban kepada jiran. Sebaliknya, berasa bersalah kerana sudah melanggar hukum syarak yang mengharamkan daging aqiqah dan korban diberi makan kepada bukan Islam.
Jiran bukan Islam juga akan tidak selesa berada di rumah dalam keadaan dia tidak dijemput. Biasanya mereka akan sengaja membuat helah untuk tidak berada di rumah pada masa majlis diadakan.
Keadaan seperti ini sebenarnya menimbulkan satu tanggapan bahawa Islam tidak mesra jiran. Apakah tidak ada cara bagi umat Islam mengatasi masalah ini. Apakah tidak ada pendapat lain, selain pendapat yang mengatakan daging korban dan aqiqah haram diberi makan kepada bukan Islam?
Pendapat umum dan amalan orang Islam di Malaysia mengatakan daging korban tidak boleh diberi makan kepada bukan Islam. Namun, kita boleh merujuk kepada pendapat dikemukakan ulama mazhab lain dalam isu ini. Kita dapat mengesan pelbagai pendapat dengan hujah masing-masing. Melalui pendapat itu umat Islam mungkin dapat menemui jalan keluar daripada isu ini.
Penulis Kitab Kasyf al-Qina menyatakan mazhab Maliki berpendapat makruh memberi makan daging korban kepada orang Yahudi dan Nasara. Mazhab Hambali pula mengharuskan memberi hadiah daging korban sunat kepada bukan Islam, tidak harus menghadiahkan daging korban wajib kepada mereka.
Dalam al-Bajrimi dinyatakan tidak harus memberi makan daging korban kepada bukan Islam. Dinyatakan juga dalam Kitab al-Majmu` disebutkan harus memberi makan daging korban sunat kepada fakir miskin ahli zimmah, tidak harus memberi mereka makan daging korban wajib.
Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, disebutkan bahawa Ibn al-Munzir menyatakan ulama sepakat daging korban boleh diberi makan kepada fakir miskin Islam, namun mereka khilaf mengenai memberi makan daging korban kepada fakir miskin kafir ahli zimmah.
Imam Hasan al-Basri memberi keringanan mereka memakannya. Abu Thur juga berpendapat demikian. Disebutkan juga Imam Malik lebih suka ia diberi makan kepada selain fakir miskin bukan Islam. Al-Lith menganggapnya makruh, namun berpendapat jika dimasak harus diberi makan kepada mereka berserta fakir miskin Islam.
Ibnai Qudamah dalam al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir dan al-Syarbini dalam al-Iqna' menyebutkan mazhab Maliki berpendapat makruh menghadiahkan dan memberi makan daging korban kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Mazhab Hambali, al-Hasan, Abu Thur, berpendapat harus memberi hadiah dan memberi makan orang bukan Islam, kafir zimmi daging korban sunat, tetapi daging korban wajib, seperti korban nazar tidak harus.
Hukumnya sama dengan hukum zakat dan kifarat sumpah. Mazhab Syafie pula berpendapat tidak boleh memberi hadiah dan memberi makan orang bukan Islam daging korban sunat atau wajib.
Ibh Hazmin dari Mazhab Zahiriyah dalam kitabnya al-Muhalla menyatakan tuan punya korban boleh memberi makan kepada orang kaya dan orang bukan Islam atau dia menghadiahkan sedikit daripadanya.
Berdasarkan pendapat itu, kesimpulan yang boleh dibuat:
l Mazhab Syafie berpendapat haram memberi makan daging korban sunat atau wajib kepada bukan Islam.
l Mazhab Maliki berpendapat makruh memberi makan daging korban sunat kepada bukan Islam dan tidak harus (haram) memberi mereka makan daging korban wajib, seperti korban yang dinazarkan, sama seperti hukum zakat.
l Mazhab Hambali berpendapat harus menghadiahkan daging korban sunat kepada orang bukan Islam dan haram menghadiahkan kepada mereka daging korban wajib.
l Semua ulama mazhab sepakat (ijma') memberi atau memberi makan daging korban atau aqiqah wajib kepada bukan Islam adalah haram.
Ini bererti hanya ulama Mazhab Syafi`ie saja yang berpendapat daging korban sunat atau wajib tidak boleh (haram) diberi atau diberi makan kepada bukan Islam. Majoriti ulama lainnya berpendapat harus memberi mereka makan daging korban sunat, tidak harus jika korban wajib.
Dalam konteks Malaysia yang rakyatnya terdiri daripada penganut pelbagai agama, pendapat majoriti ulama yang mengharuskan orang bukan Islam diberi atau diberi makan daging korban sunat lebih baik diterima pakai.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat bukan Islam bahawa Islam memang ada sistem yang mesra bukan Islam dan dapat memelihara perhubungan silang agama.
Di samping itu, menerima pakai pendapat majoriti dapat memberi ketenangan kepada orang Islam sendiri, kerana mereka tidak berasa bersalah untuk menjemput jiran kalangan bukan Islam menghadiri majlis kenduri mereka.
Prof Madya Alias Othman adalah Penasihat Syariah JIM yang boleh dihubungi di e-mel wanitajim@yahoo.com
Ushul Fiqh Dan Ulama Ekonomi Syariah
Perkembangan
ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat
pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan
ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar
modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah,
Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk
bisnis syariah lainnya.
Dalam mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti ekonomi makro ( kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan, dan sebagainya.
Sepanjang subjek itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syariah berperan : 1. berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik skala mikro maupun makro. 2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah, 3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah dijalankan sesuai syariah.
Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.
Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.
Urgensi dan kedudukan ilmu ushul fiqh
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” .
Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis tertentu. memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah (dewan syariah), harus menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijitihad.
Seorang ulama ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dewan pengawas syariah apalagi sebagai Dewan Syariah Nasional, mestilah menguasai ilmu ushul fiqh bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqh, maka untuk menjadi seorang faqih (ahli fiqh), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqh secara luas dan detail, cukup mengetahui sebagian saja asal ia memiliki kemampuan ilmu ushul fiqh, yaitu kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at, baik ijtihad istimbathy maupun ijtihad tathbiqy. Metodologi istimbath tersebut disebut ushul fiqh. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqh bagi seorang ulama.
Termasuk dalam lingkup ushul fiqh adalah pengetahuan maqashid syariah. Seorang ulama ekonomi syariah harus memahami konsep maqashid syariah dan penerapannya. Untuk menguasai ilmu maqashid syariah, harus dibaca buku-buku tentang ilmu maqashid syariah, seperti, Al-Muwafaqat karangan Imam Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil karangan Imam Al-Ghazali, I’lamul Muwaqqi’in, karangan Ibnu Al-Qayyim, Qawa’id Ahkam fi Masholih al-Anam, karya Izzuddin Abdus Salam (660 H), kitab Maqashid al- Syariah karya Muhammad Thahir Ibnu ’Ashur ( Tunisia, 1946, ) Al-Ijtihad karya Prof. Dr Yusuf Musa, dan sebagainya. Sedangkan untuk menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam minimal seorang ulama membaca 100 buku ushul fiqh. (Daftar buku ushul dipaparkan pada tulisan kedua artikel ini)
Dalam ilmu ushul fiqh dipelajari berbagai macam obyek kajian, seperti :
1. Kaedah-kaedah ushul fiqh kulliyah yang digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara menggunakanya. Dengan mempelajari ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah akan mengetahui metode ijtihad para ulama.
2. Sumber-sumber hukum Islam ; Al-quran, Sunnah, dan Ijma’, serta metode perumusan hukum Islam, seperti qiyas, maslahah mursalah , istihsan, sadduz zari’ah, mazhab shahabi,’urf, qaul shahaby, dll.
3. Konsep Ijtihad dan syarat-syarat menjadi ulama mujtahid, juga konsep fatwa
4. Konsep qath’iy dan zhanniy dalam Alquran dan Sunnah,
5. Prioritas kehujjahan dalil-dalil syara’, dsb.
Selain ilmu ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai qawa’id fiqh, khususnya yang terkait dengan qawa’id fiqh ekonomi (muamalah). Kitab-kitab qawa’id fiqh sangat luas dan beragam dari berbagai mazhab. Seorang ulama ekonomi syariah tidak cukup meguasai kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Al-Suyuthy, Qawa’id Fiqhiyyah An-Nadawi, atau Al_Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah : Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani di masa lampau (1876), karena Qanun ekonomi Islam tersebut hanya berisi 100 qaidah fiqh ekonomi dan terlalu Hanafi centris. Namun demikian, Al-majallah ini seharusnya menjadi buku wajib pada mata kuliah qawaid fiqh di jurusan perbankan dan ekonomi syariah di IAIN/UIN. Di jurusan ekonomi Islam, jangan lagi diajarkan qawaid fiqh yang penuh munakahat, ibadah dan jinayat. Qawaid fiqh pada tiga bidang ini difokuskan di jurusan lain. Sedangkan jurusan ekonomi syariah atau perbankan syariah hanya membahas qawaid fiqh tentang ekonomi keuangan.
Selain syarat menguasai ilmu ushul fiqh, maqashid dan qawa’id fiqh, seorang ulama ekonomi syariah juga harus menguasai ayat-ayat hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama mujtahid paling tidak menguasai 500 ayat –ayat hukum syariah. Pendapat Imam Al-Ghazali, meskipun tidak relevan menjadi syarat ulama ekonomi syariah, karena 500 ayat tersebut mencakup munakahat, dan jinayat dan hukum dil luar ekonomi. Namun syarat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam hal penguasaan ayat-ayat bagi ulama ekonomi syariah.
Jadi, paling tidak ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai 370 ayat tentang ekonomi dalam Al-quran. Menurut C.C. Torrey dalam buku The Commercial Theological Term in the Quran dan Dr. Mustaq Ahmad dalam Etika Ekonomi dalam Al-Quran, bahwa di dalam Al-quran tedapat 370 ayat tentang bisnis. Maka semua ini harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah. Selain itu, ulama ekonomi syariah juga harus menguasai minimal 1354 hadits-hadits ekonomi, ditambah ilmu mushthalah hadits. Angka 1354 hadits didasarkan pada jumlah hadits yang terdapat pada Mushammaf Abdul Razzaq. Sedangkan dalam sunan Baihaqi terdapat 1145 hadits, dalam kitab Mustafrak terdapat 1000 hadits yang terdiri dari 639 bab pembahasan. Oleh karena banyaknya ayat dan hadits tentang ekonomi dan bisnis, maka di seluruh program pascasarjana ekonomi keuangan Islam, materi ayat dan hadits ekonomi ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konteks pemahaman ayat-ayat ekonomi, seorang ulama ekonomi syariah harus mengeatahui asbabun nuzul, juga masalah-masalah yang telah diijma’iy ulama (baca buku ensiklopedi ijma’), syarat-syarat ijma’, metode qiyas, metode maslahah, ishtihsan, ‘urf, sadd al-zari’ah, qaul shahabi, dan sebagainya.
Melihat, sejumlah syarat-syarat yang harus dimiliki ulama ekonomi syariah, ada tiga hal yang menjadi catatan.
Pertama, kelihatannya menjadi ulama ekonomi syariah tersebut, sangat sulit, tetapi bagi generasi yang hidup dan bergelut dengan tradisi keilmuan syariah sejak usia dini, memenuhi syarat-syarat itu tidaklah terlalu sulit. Maka, jika kita mau jujur, ikhlas, dan terbuka, masih ada ahli-ahli syariah di Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang ushul fiqh dan sekaligus tentang ekonomi Islam. Majlis Ulama Indonesia dan bank-bank syariah harus secara cerdas memilih dan mempertahankan para ahli syariah yang memenuhi kualifikasi yang memadai dan bisa diandalkan.
Kedua, para mahasiswa pascasarjana jurusan ekonomi syariah di manapun berada, tidak perlu berkecil hati, jika bukan dibesarkan dari pendidikan syariah yang arabic (Ibtidaiyah salafi, Tsanawiyah salafi dan Aliyah salafi). Maksud sekolah salafi adalah sekolah yang semua rujukan pelajarannya berbahasa Arab, kitab kuning), dan tak perlu juga berkecil hati jika bukan berasal dari sarjana syariah, karena tujuan belajar ilmu ushul fiqh di program ekonomi syariah di Perguruan Tinggi Umum, bukanlah untuk menjadi mujtahid (ulama) yang ahli ushul fiqh, pakar ushul fiqh atau dosen ushul fiqh yang handal, tetapi targetnya sekedar untuk : 1. Memahami dan mengetahui metode istimbath para ulama dalam menetapkan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi keuangan, 2. Mengetahui kaedah-kaedah ushul fiqh dan qawaid fikih dan cara menerapkannya 3. Mengetahui dalil-dalil hukum ekonomi Islam dan proses ijtihad ulama dari dalil-dalil yang ada.4, Mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam dan keterkaitannya dengan epistemologi ekonomi Islam. 5. Mengetahui prinsip-prinsip umum syariah yang ditarik dari Al-quran dan sunnah.
Hal itu sama dengan seorang sarjana syariah belajar ekonometrik. Tujuannya bukanlah menjadi pakar ekonometrik, atau dosen ekonometrik, tetapi dapat menerapkannya dalam metode penelitian ekonomi, mengukur berbagai macam resiko, dan sebagainya. Dengan berbekal ilmu ushul fiqh, seorang mahasiswa pascasarjana sudah dapat menjadi konsultan ekonomi syariah, Dewan Pengawas Syariah, menjadi praktsi ekonomi syariah yang memahami metode menetapkan hukum ekonomi Islam, juga menjadi officer atau ALCO di bank-bank syarah.
Ketiga, keharusan belajar ilmu ekonomi keuangan dan ushul fiqh secara ekstra. Ulama yang ahli syariah, jika diminta dan diberi amanah menjadi Dewan Pengawas Syariah, misalnya, seharusnya memiliki ghirah yang kuat untuk mendalami dan mempelajari ilmu ekonomi dan perbankan serta keuangan, sebab tanpa bekal ilmu ekonomi dan perbankan, maka rumusan fatwa bisa tidak tepat dan kaku. Ulama yang menjadi DPS wajib belajar ilmu ekonomi makro, agar memahami secara ilmiah, rasional (akal), mengapa bunga bank diharamkan. Tanpa pengetahuan ilmu ekonomi makro, para ulama tidak akan bisa memberikan jawaban / alasan yang memuaskan mengapa bunga bank itu sangat terkutuk dan termasuk dosa terbesar. Selain itu, DPS wajib belajar akuntansi secara sederhana, agar bisa membaca laporan keuangan lembaga keuangan syariah. Sedangkan bagi Dewan Pengawas Syariah atau anggota Dewan Syariah Nasional yang bukan berasal dari latar pendidikan ilmu syariah, tidak segan-segan belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah lainnya kepada ahli ushul fiqh yang memahami ekonomi keuangan, juga belajar ilmu maqashid, falsafah tasyri’ dan tarikh tasyri’, juga ilmu bahasa Arab, tafsir ayat-ayat ekonomi, hadits-hadits ekonomi. Upaya integrasi ilmu ini menjadi keniscayaan, agar di masa depan dikhotomi ahli ilmu syariah dan ahli ekonomi umum dapat dihilangkan secara bertahap. Pada gilirannya nanti, sejalan dengan berkembangnya program doktor (S3) ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi dunia dan Indonesia, figur integratif yang menguasai dua bidang keilmuan sekaligus dapat diwujudkan.
Para ulama ekonomi syariah (Dosen Perguruan Tinggi, DPS dan DSN) yang belum mendalami ilmu ushul fiqh harus membaca sejumlah kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal, agar bisa memahami dasar-dasar ilmu ushul fiqh dan maqashid syariah. Sarjana ekonomi umum memang sulit menjadi ahli ushul fiqh. Namun pemahaman pokok-pokoknya tidaklah terlalu sulit asalkan mau dan serius belajar, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ibnu Taymiyah, untuk menjadi ahli di bidang tertentu, seperti ushul fiqh, paling tidak menguasai (mempelajari) seratus buku ushul fiqh. Upaya untuk menjadi ahli ilmu ushul fiqh secara mendalam hanyalah melalui proses pendidikan panjang dan intensif, seperti melalui pendidikan pesantren salafi, selanjutnya dikembangkan di Perguruan Tinggi S1, S2 dan S3. Di pesantren salafi (kitab kuning) buku-buku ushul fiqh yang dibaca sangat terbatas, karena tidak ada tradisi membuat makalah dan presentasi dengan membaca puluhan buku ushul fiqh, tetapi di Perguruan Tinggi Islam, seorang mahasiswa yang mendalami ushul fiqh dapat membaca puluhan, belasan, bahkan seratusan buku-buku ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang terkait. Hal itu dikarenakan mahasiwa diwajibkan membuat makalah atau membuat karya ilmiah skripsi atau tesis yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Fakultas Syariah IAIN/UIN/STAIN, merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu syariah, yang secara intensif mengkaji ilmu ushul fiqh, qawai’d fiqh dan ilmu syariah yang terkait. Sudah Menjadi tradisi dan lumrah dalam pembuatan skripsi tentang ushul fiqh, mahasiswa membaca seratusan kitab ushul fiqh dan disiplin ilmu syariah yang terkait.
Mahasiswa unggulan dan terbaik dari perguruan tinggi Islam tersebut dapat menjadi calon ilmuwan ushul fiqh jika dia mengembangkan lagi di program pascasarjana S2 dan S3 ekonomi syariah atau program studi syariah saja. Ketika memasuki jenjang S3, seorang sarjana syariah seharusnya bisa menjadi mujtahid (bukan mujtahid mutlak), asalkan memenuhi sejumlah syarat yang dikemukakan di atas. Namun harus dicatat masih banyak sarjana syariah yang belum memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Indikatornya mudah sekali diukur antara lain, kemampuan bahasa Arab, kemampuan berijtihad dengan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh, kemampuan penguasaan ayat-ayat al-quran dan tafsirnya (khususnya tentang ekonomi), juga kemampuan ilmu hadits-hadits. Jika keempat indikator ini saja tidak beres, maka kedudukan sebagai calon ulama ekonomi syariah menjadi gugur.
Namun harus dicatat, jika 4 indikator dasar tersebut sudah dipenuhi, seseorang belum tentu bisa menjadi ulama ekonomi syariah, karena dia disyaratkan harus menguasai ilmu ekonomi syariah, teknik perbankan dan keuangan. Syarat untuk menguasai ilmu ekonomi syariah tidak bisa tidak, harus belajar dulu ilmu ekonomi konvensional, baik mikro maupun makro, bahkan ilmu ekonomi pembangunan, public finance, ilmu akuntansi dan perbankan dan lembaga keuangan. Semua ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal atau training berkelanjutan.
Buku-buku yang terkait kuat dengan ushul fiqh juga harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah, seperti kitab-kitab tarikh tasyri’, fiqh muamalah klasik dan kontemporer, perbandingan mazhab, qawaid fiqh, falsafah asyri’ atau falsafah hukum Islam. Sulit menyebutkan nama-nama kitab yang direkomenfasikan untuk dikuasai para ulama ekonomi syariah, karena ruangan yang terbatas. Sekedar contoh, untuk menguasai ilmu tarikh tasyri’, ulama ekonomi syariah minimal membaca buku Tarikh Tasyri’ Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Muhammad Ali Al-Sayis, Tarikh Mazahib al-Islamiyah Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Tasyrik Khudhriy Beyk dan sebagainya. DI IAIN belasan buku tarikh tasyrik menjadi buku wajib untuk mata kuliah bersangkutan.
Di masa depan, kita mengharapkan di Indonesia, lahir ulama-ulama ekonomi syariah yang menguasai dengan baik ilmu-ilmu syariah dan sekaligus ilmu-ilmu ekonomi keuangan. Mereka ini akan menjadi pelita ummat, tidak saja mendesign akad-akad secara inovatif, tetapi juga mengawal kesyariahan produk-produk lembaga keuangan Islam, dapat mencerahkan bangsa dan masyarakat dunia dengan ekonomi syariah. Ulama ini juga akan dapat berdialog secara ilmiah dengan para doktor ekonomi Islam yang ahli matematik, ekonometrik dan ilmu-ilmu alat tingkat tinggi lainnya.
Jumat, 07 Juni 2013
Kamis, 30 Mei 2013
Sabtu, 18 Mei 2013
Langganan:
Postingan (Atom)